GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengungkapkan soal nasib petani yang tak ada tidak henti-hentinya terkena “dampak” dari berbagai tekanan produk hilir kelapa sawit.
Dimana setelah satu tahun lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan larangan eksport minyak sawit (CPO) dan berbagai turanan berbahan baku minyak sawit sebagai dampak dari kelangkaan minyak goreng di dalam negeri, kini petani sawit Kembali diterpa isu yang sama.
Namun isu kali ini tidak dibareng kembali larangan eksport. Namun penanganan kelangkaan minyak goreng awal tahun ini melalui kebijakan menaikkan DMO (domestic market obligation) dari 300 ribu ton per bulan mejadi 450 ribu ton per bulan nyaris tidak berdampak kepada anjloknya harga TBS petani, tidak seperti tahun lalu.
Pengetatan impor minyak sawit oleh Uni Eropa juga menjadi ancaman serius terhadap harga TBS petani sawit.
Namun sangat ajaib dan luar biasa perkiraan banyak pengamat dan analis bisnis minyak sawit yang mengatakan harga CPO akan anjlok pasca peraturan Uni Eropa dan kelimpahan CPO dalam negeri akan menekan harga TBS Petani, semua meleset.
Tidak anjloknya harga TBS petani sangat berhubungan erat dengan mandatory B-30 menjadi B-35 (mencampur minyak sawit 35% kepada 65% minyak solar fosil). Hal ini dikarenakan serapan CPO domestic untuk program B35 (biodiesel) sebanyak 13,15 juta ton CPO telah berhasil menjaga keseimbangan deposit CPO Indonesia.
Yang terjadi malah harga CPO meningkat tajam pasca penerapan program B35, dampaknya terhadap harga TBS petani pun terkerek naik, dimana pertanggal 3/3 harga TBS secara nasional naik rerata menjadi Rp2.200-2900/kg, dimana sebelum penerapan B35, harga TBS petani berkisar antara Rp1.800-Rp2.100/kg TBS.
Selesai persoalan satu, tinggal lagi persoalan lama, itulah yang terjadi di kalangan petani sawit. Namun persoalan yang tidak terselesaikan ini bukanlah persoalan baru, namun sudah puluhan tahun terabaikan.
Apa itu?. Masalah “tipu-tipu” di Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Tipu-tipu yang pertama adalah potongan timbangan wajib rerata 5-12% yang diberlakukan hampir di semua PKS di Riau.
Tipu-tipu kedua adalah timbangan TBS di PKS maupun RAM yang tidak pernah tera ulang atau pengujian kembali secara berkala terhadap Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP) oleh Pemerintah Provinsi Riau melalui dinas terkait.
Tipu-tipu ketiga adalah, dengan berbagai alasan PKS membeli TBS Petani dengan rata-rata 15-25% di bawah harga penetapan Dinas Perkebunan Riau. Jadi dalam hal ini petani sawit kena tipu-tipu PKS tiga kali.
Kealpaan Aparat Penegak Hukum (APH) dan Pemerintah dalam menertibkan PKS-PKS tipu-tipu telah merugikan petani ratusan milyar per bulan.
Jika di Riau menurut Dinas Perkebunan Riau (2022) jumlah PKS sebanyak 264 PKS dengan rincian 127 adalah PKS yang memiliki kebun sendiri (Inti dan/atau Plasma) dan 137 PKS tanpa memiliki kebun inti.
Jika rata-tata dari 264 PKS tersebut katakan saja 30 ton/jam dan PKS bekerja selama 20 jam/hari maka total TBS yang masuk ke semua PKS tersebut sebanyak 158.400.000 kg.
Jika potongan wajib timbangan di PKS katakan saja 7,5% dan penyimpangan timbangan (karena tidak pernah di tera) di PKS katakan 2,5%, maka total kerugian pemilik TBS adalah Rp 39,6 M per hari (asumsi harga TBS Rp2.500/kg).
Jika satu bulan akan mencapai 1,18 Triliun. Angka yang fantastis, sebab jika 1 tahun bisa sebanding dengan total APBD 12 Kabupaten Kota se Riau.
Menurut, Ketua Apkasindo Riau , KH Suher bahwa hal itu bukan rahasia lagi dan terjadi di 22 DPW Provinsi organisasi mereka dan sudah berlangsung cukup lama tanpa ada ketegasan dari APH dan Dinas terkait.
"Jika kami memilah kecurangan ini cenderung terjadi di PKS tanpa kebun. Ini memang aneh, seharusnya PKS tanpa kebunlah yang memanjakan kami Petani sawit terkhusus petani swadaya, karena PKS model ini praktis sangat tergantung kepada produksi TBS Petani tapi yang terjadi justru PKS tanpa kebun ini yang terang-terangan melakukan kecurangan. Hal ini sudah sering dikeluhkan oleh kami petani sawit, namun nampaknya terabaikan saja " ungkap Suher, Jumat malam (3/3/2023) di Pekanbaru.
Yang paling repot, lanjut Suher, PKS tanpa kebun ini juga susah dicari alamat kantor pusatnya. "Tujuan kami Apkasindo berkordinasi. Kalau tergabung dalam asosiasi pengusaha seperti GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) masih mendingan, kami Apkasindo bisa cepat laporkan ke GAPKI. Tapi setahu saya, GAPKI tidak menerima anggota jika PKS nya tanpa kebun " tutur dia.
“Memang saya tidak menapikkan bahwa dari PKS tanpa kebun tersebut, ada juga yang “bersahabat” dengan petani sawit, namun jumlahnya hanya 10-15%, yang lainnya itu suka-sukanya dalam melakukan potongan timbangan wajib di PKS. Belum lagi harga pembelian TBS petani di PKS tanpa kebun, terkhusus TBS petani swadaya, dengan berbagai alasan sama sekali tidak pernah mendekati harga Disbun (tidak patuh), pasti berselisih 10-20% dibawah harga Disbun” bebernya.
Dikatakan Suher apa yang terjadi di 264 PKS di Riau merupakan bentuk pelanggaran dari Permentan 01 tahun 2018 yang mengatur tata niaga harga TBS Petani Sawit.
“Sekali lagi saya katakan memang tidak semua PKS curang, namun PKS yang patuh tersebut dominan di PKS Anggota GAPKI” lanjut KH Suher.
Suher menuturkan bahwa organisasi Apkasindo itu bukan hanya mewadahi petani swadaya, namun juga petani bermitra (plasma) dan semua permasalahan di PKS ini juga dirasakan oleh kedua tipologi petani sawit tersebut, hanya berbeda kadarnya.
"Kami juga sudah melaporkan permasalahan ini kepada Ketua Umum DPP Apkasindo, dan respon Ketum yaitu bahwa DPP sudah 6 bulan lalu mengajukan usulan revisi Permentan yang mengatur tataniaga TBS Petani yaitu Permentan 01 tahun 2018, tapi nampaknya belum ada respon dari Kementerian Pertanian yang bertanggungjawab terhadap Permentan tersebut " ujar KH Suher.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Emi Rosadi, Ketua DPD Apkasindo Kabupaten Indragiri Hulu, bahwa PKS-PKS sudah merajalela dalam menetapkan harga TBS petani di Riau, belum lagi masalah potongan wajib timbangan di PKS.
"Misalnya saya mengantar TBS ke PKS A, setelah ditimbang 1.000 kg, maka yang dihitung hanya 925kg artinya ada potongan timbangan sebesar 7,5%. Jika harga TBS Rp2.500/kg, berarti uang saya dirampok sebesar Rp187.500, bagi saya dan keluarga, ini sangat berarti, tapi selama ini tidak ada yang perduli " ungkap dia.
Untuk itu Emi Rosadi bermohon kepada Gubernur Riau dan DPRD Riau supaya bekerjasama dengan APH (Kejaksaan Riau dan Kapolda Riau) untuk menertibkan PKS-PKS yang tidak patuh dan menipu petani sawit dan menurutnya ini sudah ada pidana nya.
"Apalagi dengan harga pupuk saat ini 1 zak (50 kg) sudah mencapai Rp850.000, semakin merugilah kami petani sawit, terkadang tidak ada kami bawa uang untuk anak dan istri kami di rumah," ujar Emi.