Riau

100 Hari Kapolda Widodo Tak Serius Evaluasi Penegakan Hukum Kasus Karhutla di Riau

Ilustrasi kebakaran (net)

GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU -Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) tuding Kapolda Riau Brigjen Pol Widodo Eko Prihastopo tak serius evaluasi penanganan kasus Karhutla di Provinsi Riau.

 

Demikian disampaikan Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setyo, Kapolda yang baru dilantik menggantikan Irjen Pol Nandang pada 20 Agustus 2018 lalu telah berjanji akan mengevaluasi penanganan kasus karhutla berkoordinasi dengan instansi terkait.

 

Namun kata Okto, 100 hari kerja Kapolda Brigjen Pol Widodo Eko Prihastopo setelah resmi menjadi Irjen Pol. Apa yang sudah dievaluasi 100 hari Brigjen Pol Widodo Eko Prihastopo mengenai penegakan hukum kasus lingkungan hidup dan karhutla ini.?

 

Penelusuran Jikalahari melalui media dan jaringan selama 100 hari kinerja Kapolda Riau tidak menemukan perkembangan penegakan hukum yang telah dievaluasi oleh Kapolda.

 

“Kita tidak melihat Kapolda Widodo melakukan evaluasi terhadap lambannya penegakan hukum tindak pidanan lingkungan hidup, khususnya yang melibatkan korporasi, bahkan kasus kasus yang sudah ditetapkan tersangka tak kunjung dilimpahkan ke Kejaksaan,” kata Okto Yugo Setyo.

 

Pada kepemimpinan Kapolda Riau sebelumnya telah menetapkan beberapa korporasi sebagai tersangka. September 2016 Supriyanto menetapkan PT Sontang Sawit Permai sebagai tersangka pelaku karhutla serta penyelidikan terhadap PT Andika Permata Sawit Lestari terkait tindak pidana perkebunan dan kehutanan, lalu Juli 2017, Zulkarnain menetapkan PT Hutahaean sebagai tersangka pelaku perambahan kawasasn hutan.

 

Selain lamban menindaklanjuti korporasi yang telah ditetapkan sebagai tersangka, Widodo juga tidak melakukan evaluasi terhadap SP3 15 korporasai pembakar hutan dan lahan tahun 2015. Padahal
hasil evaluasi penyidik Mabes Polri pada Oktober 2016 menemukan 6 dari 15 korporasi layak dilanjutkan penyidikannya.

 

“Temuan yang sudah jelas pun tidak ditindaklanjuti, padahal ini penting untuk dievaluasi sebagai wujud keadilan bagi korban asap 2015,” kata Okto Yugo Setyo.

 

Kapolda Widodo juga tidak progresif menindaklanjuti laporan masyarakat terkait karutla maupun tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan diantaranya:

 

1. Laporan Eyes on the Forest (EoF) terkait 49 korporasi diduga pelaku pembakaran hutan dan lahan pada 2014 – 2016 yang dilaporkan pada 18 November 2016 lalu. EoF menemukan areal 29 korporasi HTI dan 20 korporasi sawit terbakar pada 2014 – 2016.

 

2. Laporan dari Koalisi Rakyat Riau (KRR) pada Januari 2017 terkait 33 korporasi sawit beroperasai dalam kawasan hutan tanpa izin.

 

3. Laporan masyarakat Desa Sotol pada Februari 2018 terkait dugaan tindak pidana kehutanan yang dilakukan PT Mitra Unggul Pusaka karena menanam sawit dalam kawasasn hutan.

 

Penegakan hukum yang lamban terhadap kasus-kasus tersebut sejalan dengan banyaknya hotspot yang muncul diareal korporasi. Pantauan Jikalahari sepanjang Agustus – November 2018 ada 264 hotspot, dengan confidence > 70% ada 129 titik yang berpotensi menjadi titik api.

 

Di areal korporasi HTI, hotspot paling banyak di PT Sumatera Riang Lestari (16 titik), PT Satria Perkasa Agung (6 titik), PT Rimba Rokan Perkasa (6 titik) dan PT Triomas FDI (3 titik). Sedangkan di areal korporasi sawit, hotspot paling banyak di CV Nirmala (34 titik), PT Palma Satu (26 titik), PT Panca Surya Agrindo Sejahtera (13 titik), PT Agroraya Gematrans (7 titik), PT Bertuah Aneka Yasa (4 titik), PT Peputra Supra jaya (4 titik) dan PT Bumi Reksa Nusa Sejati (2 titik).

 

“Korporasi yang belum dilakukan penegakan hukum masih ditemukan hotspot yang berpotensi menjadi karhutla, sementara di konsesi korporasi yang telah divonis bersalah oleh pengadilan terjadi penurunan hotspot secara drastis bahkan tidak ada sama sekali seperti di PT Langgam Inti Hibrido dan PT Wana Subur Sawit Indah,” kata Okto,”Ini adalah bukti bahwa ada efek jera penegakan hukum terhadap korporasi.”

 

Tidak dilakukannya penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup turut menyebabkan kerusakan ekologis sehingga terjadi konflik satwa dan manusia, bencana kekeringan dan banjir. Terbaru di Desa Sontang seorang anak berumur 7 tahun meninggal diterkam buaya disekitar rumahnya akibat banjir. Ini menambah daftar panjang korban meninggal akibat konflik satwa dan manusia. Sebelumnya pada Januari 2018 Jumiati meninggal diterkam Harimau saat sedang bekerja di konsesi PT. Tabung Haji Indo Plantation (THIP) dan Yusri pada Maret 2018 juga meninggal diterkam Harimau disekitar PT. THIP

 

Sudah 100 hari Kapolda Widodo berada di Riau tidak berani dan bersunguh – sunggu melakukan evaluasi terhadap penegakan hukum kasus karhutla dan tindak pidana lingkungan hidup yang
dilakukan oleh korporasi.

 

Jikalahari merekomendasikan kepada Kapolda Widodo untuk:

 

1. Melakukan evaluasi penegakan hukum secara sunguh-sunguh dan menyeluruh terhadap penegakan hukum kasus lingkungan hidup dan kehutanan di Riau.

 

2. Melanjutkan penyidikan terhadap 15 korporasi pembakar hutan dan lahan yang di SP3 oleh Polda Riau.

 

3. Menetapkan 33 korporasi perkebunan kelapasawit yng dilaporkan KRR bersama Jikalahari sebagai tersangka.

 

4. Menetapkan 49 korporasi diduga pelaku pembakaran hutan dan lahan pada 2014 – 2016 yang dilaporkan Eyes on the Forest sebagai tersangka.

 

5. Menetapkan PT APSL sebagai tersangka tindak pidana perkebunan dan kehutanan.

 

6. Menetapkan PT Mitra Unggul Pusaka yang melakukan dugaan tindak pidana kehutanan sebagai tersangka.

 

Editor: Arif Wahyudi


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar