ASN Riau Banyak Terlibat Korupsi, Syamsuar Diminta Segera Benahi Birokrasi
Gubernur Riau Syamsuar
GAGASANRIAU.COM PEKANBARU — Langkah Gubernur Riau Syamsuar yang menerbitkan Surat Edaran Nomor 143/SE/2019, tentang Larangan Praktik Pungutan Liar dan Menerima Gratifikasi di Lingkungan Pemerintah Provinsi Riau pada 20 Agustus 2019 lalu dinilai sudah tepat.
"Ini menindaklanjuti surat edaran serupa dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang pemberantasan praktik pungutan liar atau Pungli dalam pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah, dan kami mengapresiasi hal itu" ungkap Ahlul Fadli Koordinator Senarai organisasi yang fokus melawan prilaku korup di Bumi Lancang Kuning ini kepada Gagasan Jumat 23 Agustus 2019.
Menurut Ahlul, surat edaran itu salah satu langkah awal Syamsuar untuk membenahi ASN nya yang banyak tersangkut korupsi.
Diungkapkan Ahlul surat edaran Gubernur Syamsuar berisi 6 poin. "Intinya, tidak menerima atau memberi janji, tidak melakukan pungutan kecuali yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, memberi akses pelayanan seluas-luasnya, tidak menerima gratifikasi dan harus melaporkan setiap penerimaan apapun yang berhubungan dengan jabatan pada unit pengendalian gratifikasi" papar Ahlul.
Diterangkan Ahlul, pungli dan gratifikasi di Riau memang masih jadi persoalan. "Hasil survei penilaian integritas KPK pada 2016 dan 2017, menujukkan, sekitar 11 persen Pegawai Pemerintah Riau pernah mendengar dan melihat rekan-rekannya menerima suap atau gratifikasi. Riau menempati pringkat 7 dari 15 pemerintah provinsi yang disurvei" terang Ahlul.
Pegawai di Riau lanjut Ahlul, juga kerap minta uang pada orang yang sedang berurusan dengan mereka. Bahkan, jumlah ini meningkat dari 8 persen pada 2016 jadi 10 persen pada 2017.
Dikatakan Ahlul, masalah suap dan gratifikasi, Riau sangat mengkhawatirkan karena bertengger diperingkat 3.
"Sekitar 45 persen pegawai di Riau percaya, suap dan gratifikasi akan merubah karir mereka lebih baik ketika menghadapai promosi atau mutasi jabatan" ujarnya.
“Itu baru sekelumit masalah integritas ASN di Riau. Belum lagi masalah penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, penyalahgunaan kewenangan, penggelembungan anggaran dan penyelewengan perjalanan dinas,” kata Ahlul Fadli.
Ahlul berharap dengan adanya surat edaran Gubernur Syamsuar dapat menurunkan tingkat korupsi dan mengeluarkan Riau dari zona merah korupsi.
Pasalnya kata Ahlul, bila melihat tren penegakan hukum tindak pidana korupsi di Riau sepanjang 2018-2019, ASN di Riau memang yang paling banyak tersangkut korupsi.
Dipaparkan Ahlul berdasarkan catatan mereka kasus korupsi ini saat ini yang ditangani Polda Riau menangani 32 ASN, 9 kepala desa, 2 pejabat, 5 pensiunan ASN dan 1 pegawai BUMN. Kerugian negara diperikirakan Rp 16.902.907.190.
Sedangkan Kejaksaan Tinggi Riau tangani 105 perkara dengan 33 terdakwa. Namun tak disebutkan status para terdakwa. Jumlah kerugian negara dari keseluruhan perkara sekitar Rp 27.069.971.373,53.
"Bagaimana penegakan hukum di peradilan? Pengadilan Negeri Pekanbaru telah menyelesaikan 103 perkara dari Januari 2018 hingga 25 Juli 2019" ujar dia.
Dan lanjut Ahlul, beberapa sektor yang jadi bancakan antara lain; pengadaan barang dan jasa, APBD, dana desa dan pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 442.232.682.783. Pelakunya tetap ASN paling banyak yakni 48 orang.
Dan terhadap banyaknya ASN terlibat korupsi, tahun ini Gubernur Syamsuar telah memecat 29 ASN yang terbukti korup. Lima diantaranya menggugat Syamsuar di Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru.
Kemudian juga lanjutnya, Syamsuar sebelumnya sempat ditegur Menteri Dalam Negeri karena tidak kunjung memecat dua ASN yang masuk daftar terbukti korup.
"Pemberhentian secara tidak hormat terhadap ASN yang terbukti korup adalah bukti tegasnya Syamsuar dalam mencegah dan memberantas korupsi. Tapi, tidak cukup sekedar menerbitkan surat edaran, Syamsuar juga harus segera membenahi birokrasi, sebagaimana program kerja 100 harinya" tutup Ahlul.
Reporter Nurul Hadi
Editor Arif Wahyudi
Tulis Komentar