GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Koalisi untuk Masyarakat Adat untuk Hutan dan Tanah mengapresiasi Lembaga Adat Melayu Riau yang memberikan penghargaan majelis upah-upah dan tepuk tepung tawar untuk Bongku bin Jelodan yang dikrminalisasi PT Arara Abadi. Turut hadir Datuk M Yatim, LAMR Kawasan Sakai, Datuk Amat Kepala Suku Batin 8 dan 5 Sakai Riau, Datuk Johan Ketua DPH LAMR Kawasan Batin 8 dan 5 Sakai Riau, Datuk Ridwan, Kepala Suku Batin Beringin Sakai serta Datuk Safrin Ketua MKA LAMR Kawasan Batin 8 Sakai Riau.
“Momentum upah-upah dan tepung tawar yang dipersembahkan kepada Bongku adalah pemaknaan untuk mengembalikan semangat dan kebangkitan marwah Melayu,” kata Datuk Seri Syahril Abubakar, Ketua Dewan Pengurus Harian LAM Riau pada Kamis (13/8/2020)
Syahril menyebutkan sampai sekarang masyarakat adat di Riau mengalami kesulitan dalam mengelola ladang mereka sendiri. “Mau berkebun ditanah sendiri pun dipenjara, kita pula yang dimasukan dalam penjara. Apa kita mau terima ini? Setelah kasus Bongku ini jangan ada Bongku – Bongku yang lain, ini marwah kita,” sebutnya.
Pada hari ini Bongku bersama Datuk Safrin bertemu Jikalahari, Walhi Riau, LBH Pekanbaru dan Perkumpulan Elang paska upah-upah di LAM Riau, sebagai bagian solidaritas atas kriminalisasi terhadap Bongku. Bongku dan Datuk Safrin menceritakan situasi terkini masyarakat sakai dan perjuangan Bongku menghadapi kriminalisasi. Bongku juga menceritakan kehidupan Suku Sakai sejak zaman nenek moyang, hidup bergantung pada hutan dan sungai. “Kami hidup sampai saat ini karena makan ubi menggalo, mencari ikan, menjerat kancil, rusa, babi hutan, kijang dan ayam hutan,” kata Bongku. “Kebiasaan itu hilang sejak perusahaan beroperasi di wilayah kami.”
“Kejahatan PT Arara Abadi tidak hanya menganggu Masyarakat Adat Sakai yang hidup dengan merampas hutan adat, mengkriminalisasi hingga konflik yang berkepanjangan. Bahkan PT Arara Abadi menggangu mereka yang sudah mati dengan merusak kuburan leluhur Masyarakat Sakai,” kata Safrin.
Kasus Bongku berawal pada 3 November 2019, Bongku ditangkap oleh security PT Arara Abadi dan dilaporkan ke Polsek Pinggir karena menebang akasia-ekaliptus untuk ditanam ubi menggalo seluas setengah hektar di dalam konsesi PT Arara Abadi di Dusun Suluk Bongkal, Desa Pait Beringin Kecamatan Talang Mandau, Kabupaten Bengkalis.
Kemudian Bongku dijatuhi hukuman setahun penjara, denda Rp 200 juta oleh Majelis Hakim PN Bengkalis Pada 18 Mei 2020. Lalu 10 Juni 2020 Bongku dinyatakan bebas melalui asimilasi sesuai dengan Permenkumham No 10 tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 serta Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.0104.04 tahun 2020 tentang pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.
“Sejak awal kasus Bongku bertentangan dengan kebijakan FCP APP, termasuk ketidak patuhan PT Arara Abadi terhadap putusan MK 35, MK 95, Perda 10/2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya; Perda 10/2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” kata Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari.
“jika merujuk pada komitmen FCP APP, selayaknya PT Arara Abadi melakukan serangkaian FPIC, menghormati hak asasi Bongku dan masyarakat adat, lalu mencari jalan penyelesaian berupa mengeluarkan wilayah adat dari izin PT Arara Abadi,” terang Okto.
“Upah-upah ini memberikan semangat baru kepada Bongku, sekaligus pembuktian dari LAM Riau bahwa Bongku bertindak benar dalam memperjuangkan kedaulatan tanah ulayat suku sakai. Majelis upah-upah ini juga bentuk perlawanan atas kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan oleh korporasi,” jelas Okto ;agi
Sejalan dengan itu, Fandi Rahman, Deputi Walhi Riau menegaskan pentingnya penetapan Perda Tanah Ulayat, sebagai payung hukum masyarakat adat di Riau atas hutan tanahnya. Jika tidak ada jaminan secara legalitas hukum dimasa depan terhadap wilayah kelola rakyat dan hak masyarakat adat untuk mengelola hutan tanah, konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan, juga kriminalisasi atas masyarakat adat seperti Bongku akan terus terjadi di Riau.
“Masyarakat adat di Riau sampai saat ini tidak bisa mengelola tanah ulayat untuk berladang dan menjaga hutan. Mereka masih berjuang untuk mendapatkan hak dengan kondisi krisis pangan dan air bersih,” ujar Fandi Rahman.
Koalisi untuk Masyarakat Adat untuk Hutan dan Tanah mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Riau bersama Gubernur Riau segera menetapkan Perda Tanah Ulayat sebagai pengakuan masyarakat adat dan hutan tanahnya sekaligus solusi atas penyelesaian persoalan konflik antara masyarakat adat dengan korporasi di Riau. (rilis)
Tulis Komentar