Opini

Fenomena LGBT, Penanganan dalam Perspektif Konseling dan Psikoterapi

Foto ilustrasi (dot.net)

Di era serba kemajuan ini, istilah LGBT sudah tidak asing lagi. Istilah LGBT ini kerap masih menjadi salah satu istilah yang diperbincangkan dikalangan masyarakat hingga saat ini. Berbagai aspek permasalahan sosial dapat muncul sebagai kompensasi dari perkembangan tersebut. Diantara masalah yang belakangan mendapat perhatian khusus dan kontroversi dikalangan praktisi, akademisi maupun masyarakat luas adalah permasalahan orientasi seksual yang menyimpang, dimana kondisi ini belum mendapat kesepakatan dari masyarakat luas, khususnya Indonesia. 

Penyimpangan ini pada dasarnya bukan merupakan barang baru dalam realita kehidupan sosial kemasyarakatan, namun permasalahan ini kembali mencuat kepermukaan dan mengundang berbagai reaksi setelah pengesahan perkawinan sejenis oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Orientasi seksual yang menyimpang tersebut secara eksplisit dikategorikan dalam Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT).

LGBT sendiri merupakan orientasi seksual ataupun identitas gender seseorang. Tapi perlu dipahami orientasi seksual dan identitas gender adalah dua hal yang berbeda. Orientasi seksual ini lebih merujuk pada ketertarikan seseorang secara seksual, emosional, romantis kepada individu yang memiliki kesamaan jenis kelamin kemudian identitas gender lebih merujuk pada perasaan internal yang mendeskripsikan dan mengekspresikan dirinya sebagai perempuan,laki-laki, non-binary, dan lain-lain.

Apabila dilihat dari populasi LGBT yang membutuhkan perhatian dan penanganan tersebut terlihat dari paparan data yang menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 2%-13% dari populasi dunia merupakan individu yang memiliki orientasi seksual tersebut, dan 60% diantaranya merupakan kaum muda. Untuk wilayah Indonesia sendiri, berbagai riset pada tahun 2014 memperkirakan bahwa kaum LGBT terdapat sebanyak 1% dari total populasi rakyat Indonesia dan diperkirakan angka ini akan terus bertambah setiap tahunnya. Pengidap orientasi seksual LGBT  juga dialami oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri dengan angka pengidap yang cukup banyak. Pada tahun 2013 ditemukan 84,45% tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Hongkong adalah lesbian dan tidak sungkan untuk menunjukkan orientasi seksualnya tersebut didepan umum.

Berpedoman kepada temuan di lapangan dan paparan fakta hasil penelitian mengenai kondisi LGBT maka konselor sebagai salah satu profesi yang diakui pemerintah dalam penanganan klien diharapkan mampu menjadi pihak yang bisa melayani klien dengan berbagai latar belakang budaya, nilai dan norma. Selain itu, konselor sebagai seorang pendidik juga memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan pelayanan konseling demi terciptanya kondisi efektif sehari-hari.

Penanganan kondisi klien yang mengidap LGBT dikategorikan dalam populasi khusus. Hal ini dikarenakan tidak seluruh individu akan merasakan dan mengalami kondisi ini, dan hanya karena faktor-faktor tertentulah seseorang mengalami perubahan orientasi seksual. Berbagai permasalahan yang dialami pengidap LGBT membutuhkan penanganan khusus oleh konselor, terlebih hal ini menyangkut kondisi kehidupan klien khususnya berupa marginalisasi,gangguan dalam berkarir, norma dalam masyarakat serta keyakinan beragama.

Mengingat di beberapa negara maju di dunia telah mengkategorikan perilaku orientasi seksual LGBT tidak lagi merupakan gejala penyimpangan dan tidak tercantum lagi dalam laporan WHO maka hal ini bermakna bahwa secara global, tidak banyak yang akan mengkaji penanganan atau pengentasan perilaku ini. Namun hal ini tentu tidak berlaku dalam kebudayaan Indonesia. Adat ketimuran dari Indonesia menganggap bahwa perilaku LGBT merupakan sesuatu yang dianggap ”tidak normal” dan membutuhkan penanganan khusus. Tentu saja konselor di Indonesia, dan seharusnya bersikap arif terhadap norma yang berlaku harus mengambil peran dalam upaya ini.

Berbagai pendekatan dalam konseling dapat diterapkan dalam pengentasan permasalahan ini, diantaranya dengan penerapan enam kontinum dasar dalam pelayanan konseling transgender.Praktik psikoterapi juga salah satu cara untuk pengentasan permasalahan ini yang dapat dilakukan oleh konselor. Pelayanan dengan menggunakan pendekatan hipnoterapi akan membantu klien dalam mendalami diri, mengenal diri dan lingkungan serta nilai-nilai yang didalamnya selama ini. Dengan mendalami klien tersebut, maka konselor dapat menetapkan langkah-langkah penanganan yang tepat dan efisien.

Pendekatan lain yang bisa dilakukan adalah dengan Art Therapy. Pada beberapa kasus,klien bisa tidak terbuka kepada klien dan kurang mampu melakukan komunikasi yang baik berkenaan dengan kasus yang dialami, sehingga membutuhkan suatu media untuk melakukan pendalaman terhadap kondisi demikian. Dengan hasil yang cukup signifikan, pendekatan inidapat dijadikan salah satu alternatif penanganan kondisi LGBT pada diri klien yang mungkin kurang mampu mengungkapkan permasalahannya. Pengetahuan dan pendalaman awal mengenai kondisi klien dengan kecenderungan homoseksual dapat dilakukan dengan analisis gambar melalui terapi ini, yakni ketika seorang anak yang cenderung langsung menggambar orang dengan jenis kelamin yang sama meskipun diminta untuk menggambar bebas.

Penulis : Aulia Nuradi Fatma Mahasiswa UIN Suska Riau Jurusan Bimbingan Konseling Islam


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar