GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Satu bulan setelah dilaporkan, sebanyak 16 kasus dugaan pelanggaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh sembilan pemilik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara di Pulau Sumatera belum juga ditindaklanjuti oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia.
Laporan-laporan tersebut diajukan oleh koalisi Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB), yang terdiri dari 15 organisasi masyarakat sipil di Sumatera, pada 5 Mei 2025. Namun hingga kini, belum ada proses verifikasi maupun tanggapan resmi dari pihak KLHK.
Dugaan Kejahatan Lingkungan di PLTU Batubara
Koalisi STuEB melaporkan indikasi pembuangan limbah fly ash bottom ash (FABA) tanpa pengelolaan yang memadai, yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan, termasuk:
PT PLN Nusantara Power dan PT Meulaboh Power Generation di Nagan Raya, Aceh
PT PLN Nusantara Power Cabang Ombilin, Sumatera Barat
PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) UB JOM PLTU Tenayan Raya, Riau
PT PLN Indonesia Power di Pangkalan Susu, Sumatera Utara
PT Permata Prima Elektrindo di Jambi
PT Tenaga Listrik Bengkulu, Bengkulu
PT Priyamanaya di Lahat, Sumatera Selatan
PT PLN (Persero) di Lampung
Bentuk pelanggaran lain termasuk dugaan penggunaan serbuk kayu dari kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) sebagai bahan campuran pembakaran batubara, penutupan sungai dalam proyek konstruksi, pengelolaan stockpile batubara yang tidak sesuai standar, hingga sistem penangkal petir yang tidak berfungsi yang membahayakan warga.
Kritik Masyarakat Sipil dan Dampak Nyata
Ali Akbar, Konsolidator STuEB, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan ini secara terang-terangan melanggar peraturan lingkungan dan memperlihatkan abainya negara terhadap keselamatan ekosistem dan kesehatan warga.
“Limbah FABA beterbangan di sekitar permukiman warga di Bengkulu, Sumbar, dan Riau. Di Sumut, Aceh, dan Lampung, tumpukan abu mencemari kawasan pesisir. Di Jambi dan Lahat, limbah mencemari Sungai Tembesi dan Pule. Ini bukan lagi kelalaian, tapi pembiaran,” ujarnya.
Laporan Tak Ditindaklanjuti, Akses Pengaduan Tertutup
Sahwan, Ketua Yayasan Anak Padi di Lahat, mengungkapkan bahwa pelaporan melalui aplikasi resmi KLHK seharusnya mempermudah masyarakat. Namun, laporan mereka tidak mendapat respons.
“Setiap hari, warga Desa Muara Maung dan Merapi Barat menghirup abu PLTU. Ribuan orang terserang ISPA, hasil panen merosot karena pencemaran tanah. Ini sudah darurat,” jelasnya.
Hal serupa disampaikan oleh Boni Bangun dari Sumsel Bersih yang menyoroti rusaknya wilayah resapan air dan pengalihan aliran Sungai Niru oleh PLTU Sumsel 1 di Muara Enim, sebelum PLTU tersebut beroperasi penuh.
“PLTU ini justru mempersempit ruang hidup masyarakat dan meningkatkan potensi bencana,” tegasnya.
Hukum Dilanggar, Negara Bungkam
Alfi Syukri dari LBH Padang menilai, pembiaran ini menunjukkan adanya kekosongan hukum.
“UU mewajibkan pemerintah merespons aduan lingkungan paling lambat dalam 10 hari kerja. Fakta di lapangan membuktikan, masyarakat hanya dijadikan korban eksploitasi sumber daya alam tanpa perlindungan,” tegasnya.
Syukur, Direktur Apel Green Aceh, menambahkan bahwa kondisi nelayan dan petani kian memburuk.
“Nelayan menarik batubara, bukan ikan. Petani kehilangan hasil panen. Anak-anak sakit, tapi negara diam. Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 hanya jadi slogan,” katanya.
Aldi Ferdian dari P2LH Aceh menegaskan, negara turut bertanggung jawab jika terus membiarkan korporasi merusak lingkungan.
Desakan Pemulihan dan Evaluasi PLTU
Andri Alatas, Direktur LBH Pekanbaru, menilai pemerintah telah gagal melindungi rakyat.
“FABA di Tenayan Raya, Pekanbaru, dibiarkan menumpuk di lokasi rawan longsor dan banjir. Sungai Siak terus tercemar tanpa ada pemulihan. Negara mesti bertindak,” ujarnya.
Deri Sopian dari LTB Jambi menyampaikan bahwa lokasi penumpukan FABA di Jambi berada di area rawan banjir, dan bisa mencemari anak Sungai Tembesi. Ia mendesak Kementerian segera turun tangan.
Sementara Aji Surya dari Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara menyebut kehadiran PLTU sebagai "tragedi lingkungan", bukan transisi energi.
“Petani menjual sawahnya, nelayan kehilangan mata pencaharian. ISPA dan penyakit kulit menjadi hal biasa. Ini bukan masa depan yang dijanjikan,” katanya.
Di Lampung, Prabowo Pamungkas dari LBH Lampung menyoroti kerusakan jalan desa akibat truk pengangkut batubara serta pencemaran lingkungan akibat operasi PLTU Sebalang dan Tarahan.
Akses Pengaduan Terhambat
Ironisnya, laman pengaduan resmi Kementerian KLHK di https://pengaduan.menlhk.go.id/ saat ini masih dalam status maintenance, sehingga semakin menyulitkan masyarakat menyampaikan aduan.
STuEB: Negara Harus Memihak Rakyat, Bukan Korporasi
Koalisi STuEB menyerukan agar Kementerian Lingkungan Hidup segera merespons laporan kejahatan lingkungan ini, melakukan verifikasi di lapangan, menjatuhkan sanksi tegas kepada para pelanggar, dan melakukan pemulihan lingkungan secara menyeluruh di lokasi-lokasi terdampak.
“Kami tidak meminta hal yang mustahil, hanya menuntut hak atas lingkungan yang bersih dan sehat sebagaimana dijamin oleh konstitusi,” tutup Ali Akbar.(*)