Riau, Negeri Para Hedonis?

Riau, Negeri Para Hedonis?
Hendaknya tahun 2011 ini kegiatan seremonial di pemerintahan dikurangi dan lebih mengedepankan makna dan manfaat. — Prof Dr H Mahdini MA, Ketua Majelis Agama Indonesia, Riau gagasanriau.com-Ucapan Ketua Majelis Ulama Indonesia Riau di atas adalah renungan salah seorang pemuka masyarakat Riau menyambut Tahun Baru 2011 di harian Tribun Pekanbaru, 1 Januari 2011. Renungan itu pantas dikaji dan dimaknai mendalam. Benarkah para pejabat di Riau gemar menggelar acara seremonial? Mari kita kaji. Kita mulai dari isi halaman beberapa koran terbitan daerah Riau yang sebagian besar terbit di ibu kota provinsi, Pekanbaru. Sepanjang tahun, ratusan acara seremonial didanai uang rakyat dari APBD terpampang hampir pada semua koran terkemuka daerah. Acap kali isi sebuah koran didominasi acara-acara seremonial belaka. Semua kabupaten/kota di Riau memiliki halaman khusus yang dibeli dengan dana APBD. Alhasil, belasan halaman dikapling-kapling hanya untuk berita kegiatan sang pemimpin, gubernur, bupati, wali kota, sekretaris daerah, dan ketua DPRD, ditambah kegiatan para istri. Semua halaman lebih banyak berisi puja-puji, kegiatan seremonial, dan berita-berita yang tidak begitu perlu buat rakyat. Nilai anggaran untuk mengapling berita itu tidak murah. Satu media dapat mencicipi kue APBD sebesar Rp 1 miliar untuk satu pemerintah kabupaten/kota. Hitung saja kalau total 11 kabupaten/kota di Riau beramai-ramai membeli halaman. Dengan anggaran APBD saja, sebuah media lokal sudah dapat membiayai hidupnya sepanjang tahun. Seorang praktisi media lokal dalam pembicaraan dengan Kompas.com menyebutkan, halaman koran itu dapat menelan biaya Rp 100 miliar setahun (APBD provinsi, kabupaten/kota). Anggaran itu untuk pembelian halaman koran rutin setiap hari dalam setahun, kegiatan ekstra seremonial yang tidak tertuang dalam kontrak, iklan televisi lokal, ucapan selamat, belasungkawa, dan lain-lain. Kalau saja anggaran Rp 100 miliar itu dialihkan untuk membangun gedung sekolah, niscaya akan ada penambahan 100 sekolah setiap tahun di Riau (dengan asumsi satu gedung baru senilai Rp 1 miliar). Atau, apabila uang itu dikonversi untuk membangun jalan desa terisolasi, dalam 10 tahun semua desa terpencil di Riau akan terbuka dan lebih gampang dijangkau. Gemar pamer Fenomena pembelian halaman koran untuk kegiatan pejabat boleh dikatakan khas Riau. Nyaris tidak ada daerah lain di Tanah Air yang berbuat begitu kecuali untuk acara-acara khusus. Kegiatan pamer diri itu agaknya terkait dengan budaya di negeri Melayu itu. Penelitian Rahma Yurliani dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara tentang kecenderungan hedonisme pada masyarakat Melayu Medan dan Tanjungpura tahun 2007 menyebutkan, masyarakat Melayu di Provinsi Sumatera Utara itu cenderung konsumtif, boros, dan senang berfoya-foya. Hal itu dikuatkan kutipan dari buku Orang Melayu terbitan UNRI Press 2002 karangan Isjoni dan Ishaq, yang menuturkan, kelemahan orang Melayu adalah kegemaran mencari dan memuja hero, wira, atau pahlawan. Orang Melayu terbiasa hidup dalam bayang-bayang kejayaan masa lalu. Pada masa lalu, Melayu memang mengalami masa kejayaan menguasai sebagian besar aspek kehidupan, dari seni, perdagangan, transportasi, hingga teknologi perkapalan. Orang Melayu senantiasa bangga atas kejayaan Hang Tuah. Masih pada penelitian Rahma, kecenderungan bersifat konsumtif masyarakat Melayu diungkapkan Syafrin, Subilhar, dan Sudirman dalam tulisan berjudul "Tradisi dan Kemodernan 1996". Masyarakat Melayu disebut mengalami penyakit psyco compensation syndrome yang terwujud dalam perilaku boros, konsumtif, dan gemar menuntut. Pola itu mengarahkan individu mencapai kesenangan atau menikmati hidup, yang disebut hedonisme. Nilai hedonisme, menurut Rokeach (1979), akan mengarahkan pada terbentuknya keputusan, pilihan, sikap, evaluasi, argumen, nasihat, rasionalisasi, dan atribusi. Amanat rakyat Menjelang tutup tahun kemarin, pada Perayaan Natal yang dilaksanakan wartawan Riau, Gubernur Riau Rusli Zainal menyampaikan keluh kesah, semakin banyak media mengkritik kebijakan Pemerintah Provinsi Riau. Media dituding lebih banyak memberitakan sisi negatif daripada sisi positif pembangunan di Riau. Rusli tentu boleh-boleh saja mengeluh atau bahkan berbalik mengkritik pemberitaan pers. Namun, sudah sepantasnya pula Rusli introspeksi diri, apakah segala hal yang dilakukannya selama ini sudah sesuai dengan amanat rakyat yang diberikan kepadanya? Jawaban atas kritikan media itu sebenarnya sangat sederhana. Kalau saja Pemprov Riau tidak ingin berita negatif, jangan pernah membuat penyimpangan dalam menjalankan program untuk rakyat. Kalau selama ini masih ada pers yang dininabobokan dengan uang APBD, bukan berarti tidak ada media lain yang gerah melihat sepak terjang negatif pejabat di Riau. Harus diyakini, munculnya pemberitaan negatif itu bukan merupakan kesalahan humas yang tidak mampu membendung derasnya kritikan, melainkan ekses dari kegiatan pemimpinnya. Saatnya ubah paradigma Renungan atau lebih tepatnya kritikan Ketua MUI Riau di atas selayaknya dijadikan titik awal mengubah paradigma berpikir para pejabat di Riau pada awal 2011. Tidak perlu lagi pejabat Riau bolak-balik berkeliaran di Jakarta, mengiba tambahan dana dari pusat, yang faktanya tidak kunjung bertambah signifikan. Pusat sangat paham dengan kemampuan pejabat Riau yang setiap tahun tidak mampu menghabiskan anggarannya tepat waktu dan sesuai dengan program. Bagaimana mungkin pusat mau menambah dana buat Riau pada tahun 2011 apabila anggaran tahun 2010 saja masih berlebih seperempat triliunan rupiah? Masih terlalu banyak pekerjaan rumah buat para pejabat di Riau untuk memperbaiki kondisi daerah itu. Rakyat tidak menginginkan piala Adipura, piala Tata Nugraha, atau puluhan penghargaan Presiden yang tidak membumi. Rakyat tidak bangga atas Adipura apabila kebersihan kota bukan merupakan budaya hidup bersih warganya, melainkan kerja keras pekerja dinas kebersihan kota. Rakyat mencari pemimpin yang mau menolak Adipura meski kota itu sangat pantas mendapatkannya. Rakyat merindukan pemimpin yang mau berkata, "Ambillah Adipura itu karena kebersihan kota ini bukan untuk diperlombakan, melainkan sumbangsih buat rakyatku." Percayalah, rakyat lebih butuh air bersih, beras murah, pupuk gampang didapat, jalan diaspal, daerah terpencil dibuka, transportasi memadai, sekolah berdiri di sekitar rumah, guru bersedia mengajar setiap waktu, minyak subsidi masih beredar, dan listrik menyala. Rakyat lebih menginginkan korupsi dihabisi, kemudahan memiliki tanah, kemudahan urusan di kelurahan, kesehatan gratis dan ketersediaan paramedis yang melayani, serta penegakan hukum yang lebih berpihak kepada rakyat kecil. Semua pekerjaan itu ada di daerah, bukan di Jakarta. Menjadi negarawan adalah mengabdi kepada rakyat di daerah sendiri, bukan mengiba dan meminta-minta kepada pejabat pusat di Jakarta. Penulis : Syahnan Rangkuti | Senin, 3 Januari 2011 | 10:11 WIB

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index