Hukum

Intelektual Perguruan Tinggi di Indonesia Nilai Perlawanan PT RAPP Mengabaikan Peraturan Negara

Operasional PT RAPP di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau
GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Puluhan intelektual dari perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang menamakan diri Sahabat Pengadilan (Amici Curiae) memberikan pandangan kritis terkait perlawanan hukum yang dilakukan oleh perusahaan bubur kertas PT Riau Andalan Pulp And Paper (PT RAPP) yang beroperasi di Provinsi Riau. Pandangan kritis tersebut ditujukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
 
Dimana saat ini PTUN Jakarta sedang mengadili perkara Permohonan Nomor 17/P/FP/2017/PTUN.JKT, antara PT. Riau Andalan Pulp and Paper (PT. RAPP), sebagai Pemohon, melawan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) sebagai Termohon.
 
"Pandangan sebagai amici curiae di atas kami ajukan atas dasar keprihatinan dan kepedulian atas kondisi perlindungan lingkungan hidup, di Indonesia, khususnya terkait dengan kebakaran hutan dan gambut" kata  Andri G. Wibisana narahubung dari Sahabat Pengadilan ini kepada GAGASANRIAU.COM Rabu (20/12/2017).
 
"Kami meletakkan gugatan di atas di dalam serangkaian upaya yang bertujuan mendelegitimasi PP No. 71 Tahun 2014, sebagaimana telah diubah oleh PP No. 57 Tahun 2016, tentang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (selanjutnya disebut PP Gambut) dan turunannya" terang Andri.
 
Rangkaian upaya tersebut, lanjut Andri, antara lain, adalah gugatan uji materil ke MA atas Peraturan Menteri LHK No. P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017, atau bahkan penyebarluasan hasil penelitian atau seminar sepihak yang pada intinya hendak mengatakan bahwa PP Gambut berbahaya bagi ekonomi Indonesia.
 
"Kami melihat bahwa upaya delegitimasi PP Gambut di atas hendak mengajak masyarakat Indonesia untuk menjadi amnesia. Lupa bahwa dua tahun lalu, dan juga tahun-tahun sebelumnya, terjadi kebakaran hebat yang melanda hutan dan gambut di Indonesia, yang asapnya mencekik rakyat di banyak wilayah di Indonesia, melumpuhkan ekonomi selama beberapa bulan, dan mengekspos rakyat di wilayah 
 tersebut pada risiko kesehatan yang berbahaya" kata Andri.
 
Dan tambah Andri, kebakaran yang sama juga telah mempermalukan muka Indonesia di mata dunia, karena dianggap sebagai negara yang mengekspor bahaya kabut asapnya ke negara lain.
 
"Kami juga melihat bahwa upaya delegitimasi PP Gambut mengajak kita untuk menjadi rabun jauh, sehingga hanya fokus pada potensi kerugian ekonomi jangka pendek yang dapat terjadi jika PP Gambut dilaksanakan.
 
Upaya ini lanjut Andri, mengajak semua masyarakat Indonesia mengabaikan bahwa kerusakan gambut akibat pengeringan dan kebakaran berpotensi menimbulkan bencana lingkungan, mulai dari penurunan permukaan tanah dan banjir yang menyertainya, hancurnya fungsi hidrologis kawasan gambut, sampai pada hilangnya keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
 
Dan kata Andri lagi, sebagian dari bencana tersebut bersifat tidak lagi dapat dipulihkan, sehingga dampaknya akan dirasakan baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. "Selain itu, kita juga diajak untuk melupakan bahwa kebakaran hutan dan gambut telah melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga dampaknya bukan hanya bersifat lokal tetapi juga global" ujar Andri.
 
Dan terang Andri, pengajuan amici curiae, ini juga merupakan upaya pihaknya yang memiliki tanggungjawab soal lingkungan untuk melawan lupa atas kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi bahwa di Indonesia pernah terjadi bencana lingkungan hebat yang diakibatkan oleh salah urus hutan dan kawasan gambut.
 
"Pandangan sebagai amici curiae yang Kami ajukan pada dasarnya ingin mengatakan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, bahwa SK Pembatalan RKUPHHK-HTI, secara formal tidak bertentangan dengan asas larangan retroaktif karena yang dinyatakan tetap berlaku menurut PP Gambut adalah izin, dan bukan rencana kerja (RKU)" terang Andri.
 
Selain itu lanjut Andri, perlu ditegaskan bahwa perlindungan gambut pada esensinya telah diatur dalam berbagai ketentuan sebelum PP Gambut. Pada posisi yang sama asas kepastian hukum tidak terlanggar akibat fungsi pengaturan yang dijalankan oleh pemerintah untuk mendukung perlindungan gambut tersebut.
 
Kedua, lebih jauh lagi, asas larangan retroaktif tidak bersifat mutlak, dan masih mungkin untuk dikalahkan oleh asas lain yang memiliki bobot kepentingan lebih tinggi.
 
"Dalam hal ini, amici menganggap bahwa dalam konteks perlindungan lingkungan hidup, terdapat asas hukum lain yang lebih penting dibandingkan dengan asas larangan retroaktif, yaitu asas pembangunan berkelanjutan, asas pencegahan 
 
(principle of preventive action) dan asas kehati-hatian (precautionary principle), serta asas keadilan. SK Pembatalan RKUPHHK-HTI dapat dibenarkan berdasarkan asas-asas hukum lingkungan ini" paparnya.
 
Dan yang ketiga, SK Pembatalan RKUPHHK-HTI pun dapat dibenarkan dengan merujuk pada asas proporsionalitas. SK tersebut merupakan keputusan yang penting dan harus ada/tidak dapat digantikan (indispensable) bagi tercapainya tujuan PP Gambut, yaitu adanya perlindungan terhadap ekosistem gambut, serta pencegahan kebakaran dan pemulihan ekosistem gambut.
 
Selain itu, tujuan perlindungan gambut tersebut juga merupakan hal yang sangat bermanfaat guna menghentikan dan mencegah meluasnya kerusakan gambut yang telah terjadi di Indonesia.
 
Keempat, penerapan norma fiktif positif perlu dilakukan secara selektif dan hati-hati, terutama apabila terdapat kemungkinan bahwa persetujuan diam-diam yang dihasilkan oleh norma ini akan membahayakan kepentingan dan keselamatan publik serta membahayakan lingkungan hidup.
 
Kelima, Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tidak menentukan bahwa respon Badan atau Pejabat Pemerintah terhadap permohonan seseorang haruslah di dalam bentuk keputusan. "Artinya, respon tersebut dapat diberikan dalam bentuk tindakan faktual" ujar Andri.
 
Oleh karena itu, Andri menegaskan penting bagi Majelis Hakim dalam perkara a quo untuk mempertimbangkan fakta apakah Termohon telah melakukan tindakan faktual tertentu sebagai respon atas permohonan yang diajukan oleh Pemohon, dan apakah Pemohon telah mengetahui atau selayaknya dianggap mengentahui tindakan faktual yang dilakukan Termohon tersebut.
 
Dan poin ke enam dijelaskan Andri, terkait penerapan prosedur keberatan menurut Pasal 77, pengadilan perlu memperhatikan tindakan yang telah dilakukan oleh Para Pihak. Apabila setelah disampaikannya keberatan oleh Pemohon, kemudian telah diadakan pertemuan antara Pemohon dan Termohon untuk membahas SK Pembatalan RKUPHHK-HTI atau persoalan yang sangat terkait dengan keputusan tersebut, dan kemudian setelah itu Termohon tetap pada pendiriannya bahwa Pemohon harus melakukan revisi atas RKU yang telah diajukannya, maka Termohon dapat dianggap telah melakukan tindakan faktual berupa yang menolak keberatan dari Pemohon.
 
"Hal ini dapat dibenarkan karena Pasal 77 UU No. 30 Tahun 2014 tidak mewajibkan penolakan keberatan dituangkan di dalam bentuk keputusan" ujarnya.
 
"Kami ingin mengingatkan Menteri LHK tentang kewenangan yang dimilikinya terkait pencegahan kebakaran dan pemulihan lahan gambut. Menurut PP Gambut, Menteri LHK memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan administratif terhadap pemegang izin yang lahannya mengalami kebakaran. PP tersebut memberikan kewenangan kepada Menteri untuk mengambil alih lahan, memerintahkan pemegang izin untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan, menunjuk pihak ketiga untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan dengan biaya dari pemegang izin, melakukan paksaan pemerintah, sampai dengan melakukan pembekuan atau pencabutan izin lingkungan" saran Andri.
 
Selain itu, lanjut Andri pihaknya juga hendak mengingatkan bahwa UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata dan/atau memulai penegakan hukum pidana terhadap pemegang izin, atas kebakaran yang telah terjadi di wilayahnya. Kami berharap Pemerintah c.q. Menteri LHK berani menjalankan kewenangannya dalam penegakan hukum tersebut tanpa pandang bulu" tutupnya.
 
Didalam rilis yang disampaikan kepada wartawan ini, intelektual dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia menyertakan nama-nama dengan latar belakang dan asal universitasnya.
 
Diantaranya adalah Andri Gunawan Wibisana, SH, LLM, Dr. (FH Univ. Indonesia), Elly Kristiani Purwendah, SH, MHum (FH Univ. Wijayakusuma Purwokerto), Feby Ivalerina, SH, LLM (FH Univ. Parahyangan/peneliti senior ICEL), Grahat Nagara, MH. (Fak. Ilmu Administrasi, Univ. Indonesia/Yayasan Auriga), R. Herlambang P. Wiratraman, SH, MA, PhD (FH Univ. Airlangga), Ida Nurlinda, SH, MH, Dr., Prof. (FH Univ. Padjadjaran), Imamulhadi, S.H.,M.H., Dr. (FH Univ. Padjadjaran), Maret Priyanta, SH, MH, Dr. (FH Univ. Padjadjaran), Maria Maya Lestari, SH, MSc., MH (FH Univ. Riau), Martua Sirait, Ir., MSc., PhD. (Forest Watch Indonesia), Nadia Astriani, SH., M.Si. (FH Univ. Padjadjaran), Safrina, SH, MH, M.EPM. (FH Univ. Syiah Kuala), Syukron Salam, MH (FH Univ. Negeri Semarang), Windu Kisworo, SH, LLM (peneliti senior ICEL).
 
Editor Arif Wahyudi


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar