gagasanriau.com-Sejak awal November 2010 ini Pemerintah Provinsi Riau getol memasang iklan berupa advertorial di seluruh koran harian besar di Pekanbaru. Tidak tanggung-tanggung, setiap hari terpampang satu halaman penuh.
Topik yang disajikan bermacam-macam. Misalnya, Riau swasembada beras tahun 2013, kampus Riau menjadi sentra olahraga, Riau menuju sentra pengembangan sapi, internasionalisasi bahasa Melayu, energi listrik, peduli lingkungan, batik Riau, Riau menuju bebas penyalahgunaan narkoba, sampai urusan pemberdayaan perempuan.
Penyajiannya cukup komprehensif. Memakai pendekatan jurnalistik, dihias foto-foto penunjang. Kebanyakan foto tentu saja menonjolkan pejabat nomor satu, Gubernur Riau Rusli Zainal.
Sesekali muncul Wakil Gubernur Riau Mambang Mit sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional Daerah Riau. Di sela-sela itu, beberapa kali muncul wajah Septina Primawati, yang tidak lain adalah istri Rusli Zainal dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Kerajinan Nasioal Daerah Riau atau Ketua Pusat Data dan Informasi Perempuan Riau.
Banyak kalangan yakin, pemunculan Septina berkaitan erat dengan niatan menjadi Wali Kota Pekanbaru dalam pilkada pertengahan 2011 mendatang. Agar tidak terlalu tampak sebagai ajang kampanye, dalam halaman bertajuk Advertorial Pembangunan Provinsi Riau itu diwarnai dengan testimoni, semisal mahasiswa, anggota DPRD, pengamat ekonomi, pengamat pertanian, atau pengamat-pengamat lainnya.
Tentu saja, hampir semua komentar bernada dasar sama, bagus, mantap, cemerlang, hebat, pokoknya sip. Semua komentar bernada positif. Namanya saja iklan.
Namun, iklan-iklan pembangunan itu adakalanya mengusik. Misalnya topik Riau Swasembada Beras 2013 dengan program Operasi Pangan Riau Makmur dimuat di harian Tribun Pekanbaru, Minggu (14/11/2010).
Menurut Marzaman, Sekretaris Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Riau, tahun 2010 pihaknya menargetkan program rehabilitasi sawah terlantar seluas 2.919 hektar. Sampai Oktober, keberhasilan sudah mencapai 50 persen lebih atau 1.562 hektar. Bukan itu saja, Dinas Pertanian Tanaman Pangan juga memiliki target pembukaan sawah baru seluas 3.305 hektar. Sampai Oktober sudah terbuka sawah baru 2.550 hektar.
Di atas kertas target operasi pangan Riau itu sangat bagus, mantap, dan cemerlang. Namun, fakta di lapangan sangat berbeda. Perencanaan dan realisasi tidak sejalan. Dari laporan sebuah koran lokal, pencetakan sawah baru di Riau banyak menimbulkan masalah. Misalnya, lokasi sawah sangat jauh dari permukiman penduduk, kualitas sawah yang tidak memadai, kekurangan sumber air, dan berbagai persoalan lain.
Uniknya, jauh hari sebelum dilakukan pencetakan sawah baru, Pemerintah Provinsi Riau sudah membangun Kompleks Pengolahan Padi skala besar (RPC, Rice Processing Complex) di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir (2005-2007), ditambah lagi sebuah RPC besar senilai Rp 36 miliar di Kabupaten Bengkalis yang dibangun semasa pemerintahan Bupati Syamsurizal (2000-2010).
Mesin-mesin mahal buatan Korea itu sekarang ini justru lebih banyak menganggur daripada bekerja. RPC yang terletak di Desa Nusantara Jaya, Keritang, Indragiri Hilir, kini terancam menjadi besi tua karena tidak ada pekerjaan penggilingan. Sawahnya tidak ada. Di Bengkalis, RPC yang dibeli dengan biaya sangat mahal itu bernasib serupa.
RPC Bengkalis yang terletak di Desa Sepotong, Kecamatan Bukitbatu, memiliki kapasitas besar dengan kemampuan menggiling padi tiga ton per jam atau 50 ton per hari. Sawah di desa itu diperkirakan hanya seluas 500 hektar. Dengan asumsi panen mencapai dua ton per hektar, total panen mencapai 1.000 ton.
Pola tanam padi di Bengkalis masih tadah hujan, sekali tanam dalam satu tahun. Jadi, jika seluruh panen petani digiling di RPC, pabrik itu hanya bekerja selama 20 hari dalam setahun. Namun, petani sendiri enggan menjual padi ke RPC karena harganya lebih murah dibandingkan dengan di 13 kilang padi warga yang sudah ada sebelumnya.
Keberadaan RPC itu menjadi sorotan karena diduga digelembungkan dengan kerugian negara miliaran rupiah. Anggota DPRD Bengkalis, Azmi Rozali, berulang kali meminta aparat hukum di Riau sampai ke Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa proyek pembangunan bermasalah yang ditinggalkan mantan Bupati Syamsurizal, yang kini sudah menjadi bos pengawas, Kepala Inspektorat Provinsi Riau. Namun, teriakan Azmi itu seakan tidak mendapat sambutan.
Target swasembada beras Riau 2013 boleh dikatakan sangat muluk dan sulit dicapai. Berdasarkan data Scale Up, sebuah LSM Riau pemerhati kelapa sawit, laju perubahan areal pertanaman padi menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 9.000 hektar per tahun.
Kalaupun Dinas Tanaman Pangan Riau mampu mencetak sawah baru sebanyak 3.000 hektar per tahun, angka itu tidak akan mampu mengejar laju konversi sawah menjadi kebun sawit. Apalagi harga tandan buah segar kelapa sawit di pasaran semakin hari semakin mahal.
Dengan areal dua hektar saja, petani sawit dapat mengantongi uang sebesar Rp 4 juta per bulan, bersih. Adapun sawah seluas dua hektar asumsi panen dua ton per hektar dan harga gabah 4.000—maksimal sebesar Rp 16 juta untuk satu tahun, atau hanya Rp 1,3 juta per bulan, kotor. Dengan catatan, petani bekerja keras, maksimal, dan didukung cuaca bagus. Kalau tidak, perolehan angka Rp 1 juta per bulan itu sulit.
Jadi, tidak jelas arah iklan pembangunan Pemerintah Provinsi Riau itu. Mau bercuap-cuap tentang keberhasilan, data dan informasinya semu. Padahal, biaya iklan yang bersumber dari duit rakyat itu tidak sedikit.
O ya, mejeng di koran memang tabiat dan budaya khas pejabat di Riau. Tidak ada iklan advertorial Pemprov Riau pun, setiap hari sedikitnya empat koran besar di Riau memasang kegiatan pemerintah kabupaten dan kota se-Riau sepanjang tahun, dengan biaya APBD tentunya. Halaman itu telah dikavling-kavling, dan hanya boleh berisi berita positif tentang pembangunan atau aktivitas pejabat di kabupaten atau kota itu semata. Berita negatif dilarang masuk dalam halaman kavling itu.
Apalagi saat ini menjelang peilkada. Kepala-kepala daerah petahana itu nyata-nyata menjadikan kavlingan halaman koran sebagai ajang kampanye dini buat dirinya agar dipilih kembali. Tiba-tiba saja, kepala daerah yang akan maju itu begitu dekat dengan rakyat.
Setiap hari turun ke desa. Beranjangsana dengan kelompok kerukunan ini, itu. Keberhasilan diungkap besar-besaran. Semuanya itu tentu saja lagi-lagi dibiayai oleh APBD. Padahal, penyalahgunaan dana APBD untuk membeli berita itu dapat dipandang sebagai sebuah kejahatan penggunaan uang rakyat.
Belum lagi kalau ada acara seremoni peresmian gedung A, atau kedatangan tamu penting dari pusat. Sudah dipastikan besoknya koran-koran di Riau akan memajang iklan bergambar kegiatan peresmian atau perjalanan sang tamu, satu halaman. Iklan lagi.
Pamer pencitraan diri pejabat secara berlebihan yang dibiayai dana APBD sudah pasti merusak tatanan dan fungsi jurnalistik sebagai insan pengawas. Pers Riau kurang mampu menjalankan fungsinya secara optimal. Wajar apabila Kota Pekanbaru, yang mewakili Provinsi Riau, menjadi kota paling korup di Indonesia berdasarkan survei Transparency International Indonesia, awal pekan lalu.
Sekretaris Lembaga Swadaya Masyarakat Ruang Publik Indonesia, Haidir Anwar, di Pekanbaru, menyatakan, cap Pekanbaru terkorup mengartikan Provinsi Riau adalah daerah paling korup se-Indonesia.
Celakanya, pamer kegiatan pejabat di koran sudah menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah. Pejabat Riau sangat gemar memamerkan dan mempertontonkan kegiatannya. Pamer itu mungkin boleh kita sebut narsis, memuji diri sendiri secara berlebihan.
Atau bahkan mungkin sudah masuk dalam taraf gangguan kejiwaan yang disebut eksibisionis. Narsis adalah rasa bangga diri yang berlebihan, sedangkan eksibisionis adalah nafsu pamer kehebatan diri yang berlebihan. Dalam ilmu psikologi, narsis dan eksibisionis adalah bentuk penyimpangan kejiwaan.
Apakah pamer diri tidak diperbolehkan? Boleh. Dalam sebuah artikel majalah Ayahbunda disebutkan, pamer adalah kebiasaan wajar anak-anak.
Penulis : Syahnan Rangkuti | Kamis, 18 November 2010 | 09:11 WIB