Daerah

DPR: Tak Beri Suap, Pengacara Tak Laku

[caption id="attachment_3621" align="alignleft" width="300"]Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Nudiman Munir Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Nudiman Munir[/caption] gagasanriau.com, Jakarta - Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Nudiman Munir, mengatakan profesi advokat di Indonesia masih rentan dengan praktek suap. Nudirman, yang juga advokat, ini bahkan bisa mengklasifikasikan tiga tipe pengacara berdasar praktek suap. Pertama, advokat yang tak pernah pakai cara suap kepada majelis hakim. Kedua, advokat yang tak mau memberi suap, tapi tak melarang kliennya memberikan sendiri suap kepada hakim. Ketiga, advokat yang dari awal sudah punya strategi menyuap hakim. "Advokat yang pertama rata-rata kasusnya kalah terus," kata Nudirman dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 27 Juli 2013. Ironisnya, karena selalu kalah, lambat laun advokat bersih bakal turun pamor, bahkan tenggelam kariernya. Walhasil pengacara bersih tak laku lagi. Hal tersebut diakui Nudirman menjadi alasan pengacara bersih menjadi galau. Menurut dia, bukan hanya Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi yang hakimnya bisa disuap, hakim di Mahkamah Agung tak mau kalah. Bahkan, mereka semakin jumawa ketika dianggap sebagai wakil Tuhan. Apalagi Hakim Agung enggan diintervensi. Ini yang membuat Hakim Agung semakin berkuasa di persidangan dan berkuasa pula menerima suap. Advokat, Taufik Basari membenarkan pernyataan Nudirman. Padahal menurut dia, sangat disayangkan jika pengacara mengambil cara suap untuk memenangkan perkara. Menyuap hakim sama saja dengan menginjak Ilmu hukum yang telah dipelajari. "Advokat susah payah belajar hukum tapi akhirnya malah gunakan ilmu lobi dalam memenangkan perkara," kata dia. Dosen dan mantan hakim, Asep Iwan Iriawan meminta advokat untuk menolak memberi suap, apa pun resikonya. Untuk meminimalisir resiko, hakim pun harus diajak bersih-bersih dari praktik suap. Sebagai penyemangat, advokat dan hakim harus ingat profesi mereka sangat mulia sebagai ujung tombak keadilan masyarakat. "Berjuang demi penegakan hukum, bukan penegakan uang," kata Asep. Contoh nyata yang bisa mulai dilakukan, yakni membatasi hubungan antara pengacara dan hakim. Sesuai aturan, kedua pendekar hukum yang berperkara tak boleh berkomunikasi di luar persidangan. "Mari kembali bekerja secara profesional." Kasus terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru saja melakukan operasi tangkap tangan terhadap seorang pegawai Badan Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung, Djodi Supratman. Djodi diduga menerima suap puluhan juta rupiah dari pengacara Mario C. Bernardo. Walhasil, keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu. INDRA WIJAYA tempo.co


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar