Lingkungan

Klaim Mamun Murod Soal Pencabutan Izin PT LUM dan Sekat Kanal di Kabupaten Meranti Menyesatkan

Mamun Murod
GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Ulah Mamun Murod, yang mengklaim dirinya turut berjasa soal pencabutan izin PT Lestari Unggul Makmur (LUM) oleh Menteri LHK pada tahun 2016 dan pembuatan sekat kanal dikecam oleh organisasi lingkungan. Pasalnya pencabutan izin PT LUM maupun pembuatan sekat kanal itu semua murni hasil perjuangan masyarakat di Pulau Padang, Rangsang dan Tebing Tinggi.
 
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Riko Kurniawan kepada Gagasan, Sabtu 29 Mei 2020. "Bukan ide dan perjuangan Mamun Murod. Jadi klaim dia tidak benar dan menyesatkan," kata Riko Kurniawan. 
 
Sebelumnya kata Riko, Mamud Murod di sebuah media lokal mengklaim 3 hal. Pertama tiga konsep penyelesaian konflik antara PT RAPP dengan masyarakat Pulau Padang dengan mode sagu hati, kerjasama, dan Enclave atau dikeluarkan dari kawasan PT RAPP bukan dari kawasan hutan.
 
"Dan ketika itu kami berhasil melaksanakan ketiga konsep tersebut.“Jadi keliru kalau Pemkab berpihak ke perusahaan. Sebagai bukti, tidak mungkin ada sebagian areal RAPP yang dikeluarkan kalau tidak mendapat rekom dari kami. Yang jelas, setiap keputusan selalu atas persetujuan semua pihak. Kemudian perlu dipahami bahwa kewenangan untuk mengeluarkan dari konsesi perusahaan adalah kewenangan pusat," kata Mamun Murod, dalam media lokal tersebut.
 
“Tuntutan masyarakat Pulau Padang cabut izin PT RAPP di Pulau Padang karena lahan pertanian berupa sagu, rumah dan kehidupan mereka masuk dalam konsesi PT RAPP. Tapi yang justru ditawarkan oleh Mamun Murod adalah kerjasama dan sagu hati. Kalaupun ada sebagian izin PT RAPP dikurangi izinnya, itu bukan perjuangan Mamun Murod, itu perjuangan masyarakat Pulau Padang. Sejak awal Mamun Murod menawarkan kerjasama dan sagu hati bukan di depan membela masyarakat Pulau Padang,” kata Riko Kurniawan.
 
Kedua, Mamun Murod mengklaim konsep sagu dan sekat kanal di Meranti adalah gagasan dia. “Sagu dan sekat kanal sudah ada jauh sebelum Mamun Murod menginjakkan kaki di Kepulauan Meranti. Sagu dan sekat kanal model yang dikelola masyarakat merupakan kearifan lokal yang menjadi pangan lokal. Kalau memang hendak menyelamatkan sagu masyarakat, mengapa sagu masyarakat yang masuk dalam konsesi PT RAPP tidak dibela oleh Mamun Murod?” kata Riko Kurniawan.
 
Ketiga, Mamun Murod mengklaim pencabutan izin beberapa lahan akasia di Meranti juga hasil perjuangannya. “Ini juga keliru besar. Sejak kapan Mamun Murod berjuang bersama masyarakat mencabut izin korporasi? PT LUM yang izinnya dicabut Menteri LHK pada 2016 adalah desakan masyarakat sejak 2009, selama proses perjuangan itu tak ada tuch Mamun Murod pernah mengatakan berjuang bersama masyarakat mencabut izin PT LUM,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
 
Menteri LHK mencabut izin PT LUM pada 2016 dan diserahkan kepada masyarakat seluas 10.390 hektar menjadi hutan desa pada 2017.
 
“Pencabutan izin PT LUM oleh Menteri LHK juga tanpa campur tangan Murod, ini murni perjuangan masyarakat di Tebing Tinggi yang menolak kehadiran PT LUM sejak 2007,” kata Riko Kurniawan.
 
Izin HTI PT. LUM terbit pada 31 Mei 2007 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 217/Menhut-II/2007 dengan total area seluas 10.390 hektar di Kabupaten Bengkalis (sekarang Kabupaten Kepulauan Meranti) Provinsi Riau.
 
Sebagian besar area konsesi HTI PT. LUM merupakan hutan tanah gambut yang berkedalaman 2-4 meter yang seharusnya dilindungi berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
 
Sejak izin terbit, masyarakat langsung melakukan penolakan terhadap PT LUM karena lahan yang dijadikan konsesi, 60 persennya sudah di olah masyarakat sejak tahun 1950 untuk menanam sagu.
 
Selain itu dasar penolakan masyarakat adalah dengan mempertimbangkan dampak negatif sosial dan ekologi, seperti terancamnya perkebunan sagu rakyat, hilang dan tenggelamnya Pulau Tebing Tinggi yang merupakan pulau terluar strategis, serta bahaya bencana lingkungan seperti hilangnya hutan penyangga desa serta penurunan permukaan lahan gambut (subsidensi).
 
 
Puncak penolakan warga terhadap PT LUM terjadi pada 2014, petisi yang digagas oleh Abdul Manan memaksa Presiden Joko Widodo melakukan blusukan ke Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur pada 27 November 2014.
 
Dalam kunjungannya  Presiden tidak hanya berkomitmen mengkaji ulang izin PT LUM, juga menyerahkan hutan untuk dijaga dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk masyarakat.
 
Hasil temuan investigasi Eyes On The Forest di konsesi PT LUM pada 2009 menemukan kanal-kanal yang telah dibuat panjangnya mencapai 10 kilometer dengan lebar 12 meter dan kedalamannya 5 meter. “Pembuatan kanal ini berdampak kekeringan dan rawan terjadi karhutla saat kemarau,” kata Made Ali.
 
Selain PT LUM, PT RAPP Pulau Padang (APRIL Grup) milik Sukanto Tanoto juga berkonflik dengan masyarakat. Masyarat menolak izin RAPP seluas 34.000 hektar atau sekitar sepertiga dari pulau seluas 110.000 hektar. 
 
Penolakan dilakukan mulai dari lokal Pulau Padang, Provinsi (Gubernur Riau) bahkan sampai ke Nasional (Presiden).
 
“Namun aksi masyarakat yang memperjuangkan tanahnya yang dirampas korporasi tidak mendapatkan dukungan dari Mamun Murod saat menjabat sebagai Kadishutbun Meranti, hingga saat ini PT RAPP terus merusak hutan alam dan berkonflik dengan masyarakat,” kata Made Ali.
 
Pada 2014, Eyes On The Forest juga menemukan beberapa ekskavator sedang menumbang hutan alam dan membuat kanal-kanal di konsesi RAPP Pulau Padang. Penebangan hutan alam lahan gambut oleh PT. RAPP di Pulau Padang yang ditutupi penuh oleh gambut telah melanggar kebijakan perlindungan HCV APRIL tahun 2005 dan juga SFMP tahun 2014.
 
 
“Di tengah PT RAPP merusak hutan alam dan gambut serta merampas hutan tanah kehidupan masyarakat, Mamun Murod justru datang dengan menawarkan kerjasama dengan perusahaan dengan skema-skema yang justru selalu menguntungkan perusahaan,” kata Riko Kurniawan. 


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar