Lingkungan

Film Berjudul 'Tanah Moyangku' Tentang Korporasi 'Memanen' Konflik Agraria di Indonesia

Pemutaran film dokumenter berjudul Tanah Moyangku. (Dok. WALHI Riau).

GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Konflik agraria masih menghiasi pemberitaan media di Indonesia, insiden terakhir yang menyita perhatian publik adalah peristiwa di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Letusan di Pulau Rempang meninggalkan jejak pelanggaran HAM dalam peristiwa kekerasan. Rencana pembangunan pabrik kaca juga mengancam keberlanjutan sosial, budaya dan sumber pencaharian masyarakat sebagai nelayan dan petani.

Jejak konflik agraria di Pulau Rempang dan daerah lainnya di Indonesia diangkat dalam film dokumenter hasil kerja sama Lembaga Penelitian Belanda KITLV dan Watchdoc Documentary berjudul Tanah Moyangku. Film yang menceritakan perjalanan sejarah agraria yang merentang dari masa kolonial hingga saat ini.

WALHI Riau bersama Klub Akhir Pekan, berkesempatan menaja nonton film dan diskusi yang dihadiri 35 orang dari berbagai kelompok orang muda Pekanbaru pada 15 Desember lalu. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan pengetahuan dan menjaga semangat juang orang muda untuk melindungi dan memperjuangkan hak atas tanah masyarakat Indonesia, khususnya Riau.

Film Tanah Moyangku dibuka dengan cerita awal konflik agraria di Indonesia pada masa penjajahan Belanda yang saat itu menerbitkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870, undang-undang ini lahir karena adanya desakan dari para pemodal besar swasta yang sejalan dengan politik monopoli atau sistem tanam paksa dari pemerintah kolonial dalam bidang pertanahan dengan jangka waktu 75 tahun.

Bagian film ini juga menggambarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo juga menerapkan hal yang sama dengan jangka waktu lebih lama hingga 190 tahun, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara.

Selain itu, Film ini mengambil sudut pandangan dari Ward Berenschot yang merupakan peneliti sejarah konflik agraria dan pertemuannya dengan sejarawan JJ Rizal, serta penelusuran Prof. Afrizal terhadap konflik agraria di berbagai lokasi konflik.

Usai pemutaran film, dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu Saratonggal Hanz sebagai moderator bersama tiga narasumber lainnya, Bambang Putra Ermansyah dari lembaga penelitian Fair.Sea, Ahlul Fadli, WALHI Riau dan Nofira Nurfadillah, Mahasiswa HI Universitas Riau.

Bambang Putra, peneliti Fair.sea mengatakan bahwa konflik agraria tidak hanya merampas hak atas tanah masyarakat Indonesia, masyarakat juga mengalami peristiwa kekerasan baik dari pihak perusahaan maupun dari aparat TNI dan Polri.

“Seharusnya di zaman demokorasi seperti saat ini sudah tidak ada lagi tindak kekerasan dan kriminalisasi. Namun faktanya hal itu dilakukan oleh pemerintah kita sendiri. Pemerintah yang seharusnya melindungi hak masyarakat malah membuka ruang dan menjadi pelindung perusahaan yang berniat merampas tanah masyarakat Indonesia,” sebut Bambang.

Ahlul Fadli, Kordinator Media dan Penegakan Hukum WALHI Riau, menyebut keharmonisan pemerintah dengan perusahaan asing menempatkan masyarakat sebagai korban atas kebijakan yang diterbitkan, salah satunya masyarakat Pulau Rempang. Hal ini dibuktikan dengan upaya penggusuran paksa dari tanah kelahirannya dan menetapkan 35 orang sebagai tersangka saat aksi unjuk rasa solidaritas untuk Rempang yang berlangsung di depan Gedung Badan Pengusahaan (BP) Batam.

“Kasus Rempang merupakan bukti bagaimana pemerintah menegaskan keberpihakannya terhadap perusahaan asing. Dengan dalih Proyek Strategis Nasional (PSN), pemerintah bersama perusahaan asing menggusur masyarakat Pulau Rempang. Lebih parahnya, masyarakat yang mempertahankan haknya malah mendapatkan tindak kekerasan dan kriminalisasi dari aparat TNI dan Polri,” tegas Fadli.

Nofira Nurfadillah, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau, menjelaskan bagaimana konflik agraria dilihat dari sudut pandang keamanan maritim. Sudah seharusnya pulau-pulau kecil terluar menjadi basis pertahanan yang utama. hal ini bertujuan untuk isu pertahanan, sosial, lingkungan dan ekonomi.

Penempatan sektor pertahanan di pulau-pulau kecil terluar bukan sekedar menjaga keamanan tetapi juga memberi kenyamanan terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alamnya. “Jika ancaman berada di wilayah pulau-pulau dan pesisir, makan akan menurunkan kualitas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,”ujar Nofira Nurfadillah.

Pada sesi akhir diskusi, mengerucut hal-hal yang penting untuk dibahas kembali yaitu (1) Pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara soal isu agraria; (2) Kerentanan Pulau-Pulau dan Pesisir dari eksploitasi sumberdaya alam; dan (3) Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang adil dan lestari.

Hal tersebut harus digaungkan ulang untuk memastikan hak atas lingkungan hidup harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, agar terwujudnya keadilan ekologis dan antargenerasi. 
 


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar