Seknas FITRA Dan 13 Jaringan Daerah, Tolak Hak Angket DPR RI
GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Proses Budgeting (Penganggaran. Red) di legislatif masih koruptif, namun anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengaku sok bersih. Justru melemahkan kewenangan lembaga anti rasuah yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mengajukan Hak Angket ke KPK.
Demikian kecaman Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) dan berbagai jaringan di daerah melalui rilis pers yang diterima GAGASANRIAU.COM Sabtu (29/4/2017).
Dipaparkan oleh Seknas Fitra bersama jaringan daerah nya bahwa fakta sebenarnya kasus E-KTP adalah bermula dari proses Budgeting di DPR yang koruptif.
Terbukti di persidangan E-KTP mulai terkuat satu persatu nama nama Anggota DPR yang terangkut, mulai dari Anggota Komisi, Banggar hingga pimpinan DPR saat pembahasan anggaran dana E- KTP Rp. 5,9 Triliun.
Bahkan, KPK menyebutkan separuhnya 50 persen dari anggaran tersebut dijadikan bancakan oleh aktor di DPR dan Pengusaha senilai Rp.2,3 Triliun.
Fitra mencatat, hampir semua kasus korupsi bermula dari perencanaan anggaran di DPR yang bermasalah. Sebut saja dari kasus Korupsi Hambalang, Wisma Atlet, E-KTP, Pengadaan di Bakamla, Hingga Pengadaan Alquran.
Berkaca dari hal tersebut, Fitra melakukan Judicial Review ke MK Tahun 2014 dan menang. MK bahkan mengurangi kewenangan Banggar DPR dalam membahas hingga satuan tiga.
Tapi sayangnya, perilaku korupsi dalam proses pembahasan di DPR masih terus berlangsung kasus korupsi dana infrastruktur oleh Damayanti dan Putu Sudiarta senilai ratusan Milyar masih terjadi.
Dan fakta kedua menurut Fitra, alasan Hak Angket juga tidak relevan dikaitkan dengan hasil audit BPK terhadap KPK dengan predikat WTP.
"Laporan Keuangan KPK Raih WTP 10 Tahun berturut-turut. Tidak ditemukan kerugian negara, dan rekomendasi telah dijalankan. Ini kan mengada-ada, mencari cari masalah" kata Usman Koordinator Fitra Riau.
Dan yang ketiga, DPR tutup mata justru dimana KPK yang tahun 2015 menyelamatkan Rp. 294 Triliun dan tahun 2016 Rp. 497 malah akan dilemahkan.
Sedangkan DPR justru banyak memboroskan anggaran dalam beberapa hal misalnya studi banding keluar negeri, mengakses dana aspirasi, laporan reses tidak transparan, belanja legislasi yang boros dan yidak membuahkan hasil target legislasi rendah. Belanja internal sering boros untuk pengadaan yang tidak perlu : dana perencanaan pembangunan gedung mewah DPR.
"Parahnya, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai alat kelengkapan DPR justru dibubarkan dalam UU MD3 periode ini. Dari sisi internal dan penegakkan akuntabilitas keuangan Negara DPR telah abai dan luntur komitmennya" kata Usman.
Dari lima alasan tersebut, terutama fakta bahwa yang terlibat di kasus E-KTP dan korupsi lainya adalah anggota DPR. Maka Hak Angket ke KPK disinyalir dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik terkait dengan kinerja DPR yang buruk dan perilaku yang koruptif.
Untuk itu kata Usman, Fitra Riau bersama jaringan daerah menolak hak angket DPR terhadap KPK dan harus dibatalkan. Selain itu juga meminta Presiden untuk bersikap menyelamatkan intervensi penegakkan hukum antikorupsi dan pelemahan KPK.
Dan mendukung KPK sepenuhnya untuk terus mengusut dan mempercepat kasus E-KTP sampe aktor besarnya.
Untuk ketahui, organisasi Fitra terdiri dari 8 perwakilan daerah dan 13 Jaringan di seluruh Indonesia. (Rilis).
Editor Arif Wahyudi
Tulis Komentar