Hukum

Miris, Pekerja Pers di Riau Dikriminalisasi Pejabat Berujung ke Pengadilan

Ilustrasi photo (sumber photo indonesiaparlemen.com)
GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - E Wahyudi Panggabean Direktur Media Watch Riau, menyatakan bahwa telah terjadi kriminalisasi pekerja pers yang seharusnya tidak berujung hingga ke Pengadilan. Kasus yang semestinya hanya persoalaan persengketaan pers ini dinilai telah mengangkangi Nota Kesepahaman alias Momorandum of Understanding (MoU) ‎antara Dewan Pers dan Polri tahun 2012, yang menyebutkan jika perkara Jurnalistik diselesaikan oleh Dewan Pers.
 
Dimana hal ini dialami oleh Wartawan Media Online Harianberantas‎ dan Bupati Bengkalis Amril Mukminin ke ranah peradilan.
 
E Wahyudi Panggabean yang merupakan sesepuh tokoh Pers Riau sekaligus Jurnalis senior juga Pendiri Sekolah Jurnalistik di Riau, ‎ini mengaku terusik setelah mencermati kasus ini.
 
"Saya sudah melihat lebih dalam kasus ini. Saya lihat, sengketa ini dipaksakan masuk ke ranah pidana padahal sudah ada hasil sidang Pernyataan, Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers antara kedua belah pihak, baik pengadu dan teradu yang menyatakan kasus ini tak masuk ranah pidana," ungkap Wahyudi dalam Jumpa Pers, Sabtu (28/08/18).
 
Kemudian PPR Dewan Pers, kata Wahyudi, telah menyatakan bahwa berita yang dimuat Harianberantas‎ yang ditulis oleh Toro Laia, telah melanggar Kode Etik Jurnalis. Dewan Pers meminta media itu membuat hak jawab dan permintaan maaf.
 
"Bagaimana caranya membuat Hak Jawab sekaligus Permintaan Maaf jika Pengadu yakni Bupati Bengkalis, tidak kunjang mengirimkan Hak Jawab itu sesuai PPR. Lalu, tanpa melihat alasan kenapa tak ada Hak Jawab dan permintaan maaf lalu Polisi langsung menyidik dan menjadikan Toro sebagai tersangka pelanggar Undang-undang ITE," urai Wahyudi.
 
‎Dijelaskan Wahyudi, Toro, jelas pelanggar Kode Etik. Tapi, bukan Pelanggar Undang-undang ITE. Ia adalah wartawan pertama di Riau yang jadi tersangka sejak Undang-undang ITE tahun 2008 diberlakukan.
 
‎Kemudian, Kuasa Hukum Toro, Jusman, mengaku heran kenapa Majelis Hakim menolak Eksepsi yang dilayangkan pihaknya selaku terdakwa.
 
Padahal, katanya, jelas sudah ada Nota Kesepahaman alias Momorandum of Understanding (MoU) ‎antara Dewan Pers dan Polri tahun 2012, yang menyebutkan jika perkara Jurnalistik diselesaikan oleh Dewan Pers.
 
Diuraikan singkat, kasus ini bermula ketika Media Harianberantas memuat berita tentang dugaan korupsi Dana Bansos kabupaten Bengkalis tahun 2012, yang telah menyeret mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh dan sejumlah anggota DPRD Bengkalis.
 
Harianberantas memuat sedikitnya 8 (depalan) edisi pemberitaan seputar kasus itu yang diduga menyatakan Bupati Bengkalis Amril, selaku mantan Anggota DPRD Bengkalis‎, terlibat namun tak kunjung disidik.
 
Atas berita-berita itu, pada Januari 2017 Amril pun melaporkan melaporkan Harianberantas dan Toro Laia selaku wartawan media tersebut ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau.
 
Atas laporan itu, pihak Subdit II Unit ITE Ditreskrimsus Polda Riau berkonsultasi ke Dewan Pers atas berita itu.
 
Dewan Pers pun menerima Aduan pihak Amril selaku Pengadu terhadap Toro selaku Teradu sebagai bagian dari sengketa Pemberitaan dan menilai bahwa Toro telah melanggar Kode Etik Jurnalistik.
 
Dewan Pers pun menurunkan 4 (empat) poin dalam PPR atas berita tersebut. Pertama, mewajibkan Harianberantas menerbitkan Hak Jawab dari Amril sebanyak 8 kali setelah Hak Jawab diterima dan disertai permohonan maaf.
 
Kedua, Amril wajib mengajukan Hak Jawab kepada Harianberantas paling lambat 7 hari kerja setelah PPR ini diterima dan mengacu pada Peraturan tentang Pedoman Hak Jawab.
 
Ketiga, Harianberantas diwajibkan memenuhi ketentuan yang diatur oleh Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers.
 
Keempat, Harianberantas wajib memuat isi seluruh poin PPR tersebut dalam medianya.
 
"Semua Poin sudah kita laksanakan. Terutama, poin kedua, ketiga dan keempat. Toro bahkan sudah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sebagai bagian dari pon ketiga. Namun, untuk Poin pertama, pihak Pengadu (Amril, red) justru tak pernah mengirimkan Hak Jawab," ungkap Kuasa Hukum Toro, Jusman SH MH.
 
Meski demikian, lanjut Jusman, Harianberantas bahkan mengambil inisiatif menerbitkan berita klarifikasi sebanyak 9 kali disertai permintaan maaf. "Hingga hari ini, justru Hak Jawab dari Amril yang tak pernah muncul. Amril yang tak patuh, malah pada ‎2017, kasus Toro dinaikkan ke tingkat penyidikan oleh Kepolisian," ucap Jusman.
 
Ia pun heran, kenapa terbit Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), padahal ini jelas sengketa pemberitaan jurnalistik. Bahkan, saat ini sudah masuk ke ranah peradilan.
 
"Lalu, apa kabar dengan Nota Kesepahaman (MoU) Dewan Pers dengan Polri. Siapa yang telah melanggar MoU ini. Mungkin dinilai sepela, tapi ini sangat, sangat fatal pelanggaran oleh Polri ini. Tak mungkin klien kami berdiam diri atas kasus ini. Klien kami punya bukti-bukti yang bisa buat gempar. Dan, dukungan dari rekan-rekan wartawan lain cukup menguat atas pelanggaran MoU ini," tanya Jusman.
 
‎Saat ini, kasus Toro ini sudah memasuki pemeriksaan saksi-saksi Pelapor di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Wahyudi pun mengajak seluruh insan pers untuk mengikuti sidang ini dan menguak fakta-fakta secara utuh.
 
"Sama-sama kita kawal Due Process of Law‎ dalam kasus ini. Toro korban kriminalisasi Pers. Bukan pidana tapi sengaja dipidanakan. Dan, bagi rekan-rekan wartawan yang menulis berita sidang ini tanpa sesuai fakta sidang, maka, bisa dinilai telah melakukan Contemp Of Court‎ alias penghinaan atau menyerang pengadilan. Ikuti nurani mu!," imbau Wahyudi.
 
Editor Arif Wahyudi


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar