Lingkungan

Pungutan Iuran Mobil Pengangkut Sawit, Masyarakat Desa Keritang Hulu: Untuk Perawatan Jalan

Buka tutup jalan Dusun Sigambang, Desa Keritang Hulu, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil).

GAGASANRIAU.COM, KEMUNING - Belum lama ini timbul polemik di ruang publik setelah media siber memberitakan tentang iuran/pungutan ke pengendara mobil pengangkut sawit yang melintas di Dusun Sigambang, Desa Keritang Hulu, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil).

Pemberitaan tersebut menimbulkan reaksi para netizen, sehingga aktifitas pungutan iuran tersebut dihentikan sementara oleh masyarakat setempat. Namun, dihentikannya pungutan tersebut membuat masyarakat keberatan, dengan alasan pungutan tersebut untuk biaya perawatan jalan.

Menurut mereka, biaya yang dikeluarkan oleh mobil pengangkut sawit tersebut bagian iuran fee dikenakan bagi setiap mobil pengangkut sawit, dengan penetapan harga pembayaran 20 hingga 50 rupiah perkilogramnya untuk perawatan jembatan dan jalan yang telah dibangun melalui dana swadaya dan menjadi urat nadi mobilitas masyarakat tempatan.

"Sudah menjadi kesepakatan musyawarah mufakat masyarakat kami di Dusun Sigambang, dan tidak ada yang merasa keberatan dengan iuran perawatan jembatan dan jalan ini," sebut salah satu Tokoh masyarakat dan juga pengurus Portal Jembatan Dusun Sigambang, Pak Nasib Suherman, saat diwawancarai awak media, Kamis (3/8/2023).

Dikatakan Nasib, hanya satu orang yang komplain terkait kesepakatan masyarakat tentang pungutan iuran perbaikan jalan itu, yaitu warga luar yang memiliki kebun di Dusun Sigambang.

"Yang konflik itu warga luar tapi punya kebun disini. Dia tidak tahu bagaimana sejarah kami membangun jembatan dan jalan hingga sebagus ini," terangnya.

Nasib menceritakan asal muasal dibangunnya jembatan tersebut hingga menjadi jembatan beton permanen dan dirasakan manfaatnya hingga sekarang. Pembangunan jembatan tersebut atas gagasan dan semangat gotong royong masyarakat.

"Dulu jembatan ini gak ada, tahun 2004 munculah sebuah gagasan untuk membentuk kegiatan swadaya oleh masyarakat, yang bertujuan untuk pembangunan, perbaikan jalan dan jembatan dengan cara memberikan iuran dana lewat pemotongan harga sawit masyarakat yang bekerja sama dengan toke sawit dan diserahkan kepada pengurus yang telah ditunjuk dalam musyawarah, dan ini tidak dipermasalahkan," jelasnya.

Perlunya hal tersebut dibentuk mengingat terisolirnya masyarakat Dusun Sigambang karena tidak memiliki akses jalan dan jembatan untuk menggarap dan mengeluarkan hasil kebun.

"Maka dibangunlah jembatan darurat berupa jembatan gantung yang dapat dilalui sepeda motor. Karena Dusun Sigambang dipisahkan oleh sungai Keritang yang lebarnya kurang lebih 50 meter," terangnya.

Seiring waktu berjalan pada tahun 2010 Masyarakat Dusun Sigambang berhasil membangun jembatan dari kayu agar dapat dilewati oleh mobil (kendaraan roda empat) dengan anggaran dana Rp350 juta.

"Muncul masalah karena jembatan dari kayu, ketika musim penghujan dan banjir sampah dan kayu terbawa arus air tersangkut pada tiang jembatan, sehingga jembatan sering mengalami kerusakan dan patah karena tidak mampu menahan beban sampah yang tersangkut dan akibatnya aktifitas warga terganggu kegiatan belajar mengajar terhenti (libur) saat itu, sungguh sangat memprihatinkan," papar Nasib.

Untuk mengatasi masalah ini, Tokoh Masyarakat dan perangkat Dusun Sigambang bersama masyarakat pemilik kebun sawit serta masyarakat yang melewati jalan dan jembatan sigambang melakukan musyawarah dan mufakat untuk membangun jembatan permanen.

"Dari hasil musyawarah tersebut diperoleh kemufakatan untuk mencari donatur yang bersedia membantu membangunkan jembatan permanen dengan cara mengangsur iuaran masyarakat selama ini, dengan harapan cicilan jembatan terpenuhi dan perbaikan jalan dapat berjalan. Dan Alhamdulillah sekarang kami rasakan manfaatnya," kata Nasib.

Nasib menyebut total dana swadaya yang habis untuk pembangunan jembatan sebesar 1,3 milyar.

"Tidak ada campur tangan pemerintah, murni swadaya. Bahkan jembatan tersebut diresmikan pemakainnya pada tanggal 8 April 2021 oleh Ketua DPRD Inhil Ferryandi, hadir juga Kepala Desa Keritang, Camat Kemuning, dan Kapolsek saat itu. Ini swadaya loh, kami mengelolahnya, sekali lagi terkait fee masyarakat kami tidak merasa keberatan. Yang keberatan itu warga mana," tegasnya.

Dipaparkannya, fee akan dibebaskan jika harga sawit turun dan tidak sesuai dengan pendapatan petani sawit.

"Ini juga sudah kami putuskan dalam rapat," paparnya.

Ia bermohon kepada pihak aparat penegak hukum, bahwa pembangunan jembatan mutlak dari jerih payah masyarakat Dusun Sigambang melalui kegiatan kutipan (iuran) swadaya masyarakat yang sekarang sedang menjalani proses pemeriksaan terkait laporan dugaan pungli (pungutan liar) yang berujung dengan pemberhentian kegiatan.

"Padahal kegiatan yang selama ini kami lakukan atas dasar persetujuan musyawarah masyarakat. Dengan kerendahan hati, kami atas nama masyarakat Dusun Sigambang memohon kepada Bapak Kapolres Inhil agar dapat kiranya memberi solusi dan jalan keluar agar perawatan jalan dan jembatan yang selama ini telah kami lakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab dapat berlansung. Mengingat kami masih memiliki hutang kepada donatur dan kepada sebagian masyarakat yang bersedia memberikan talangan dana untuk perbaikan jalan yang dimana-mana mengalamai kerusakan parah akibat curah hujan yang tinggi dan berkepanjangan," mohonnya.

Nasib dan warga Sigambang serta masyarakat desa tetangga bahkan akan turun melakukan aksi unjuk rasa jika fee perawatan jembatan dan jalan dihentikan.

"Sudah ada koordinasi dengan warga Desa tetangga, kami siap turun melakuan aksi unjuk rasa jika iuran fee dicabut," pungkasnya.

Seperti diutarakan salah satu petani sawit, Sunami warga desa tetangga yang bertahun-tahun melewati jembatan tersebut. Ia memprotes keras terkait fee dihentikan.

"Kalau bukan dari iuran, jembatan dan jalan disini tak akan dibangun dan dirawat. Kami sangat bersyukur. Bayangkan jika tidak dirawat, hujan sebentar saja jalan sudah berlumpur kami susah mau lewat," terang Sunami.

Senada dengan Sunami, Maryati warga Desa Sekayan seorang guru, Ia yang keseharianya melewati lokasi tersebut sangat menyayangkan jika perawatan jalan dan jembatan dihentikan.

"Kalau hujan bagaimana, siapa yang akan merawatnya. Masyarakat, anak sekolah dan petani bergantung pada jalan dan jembatan disini, siapa yang bertanggungjawab," tutur Maryati.

Dalam pemberitaan beberapa media sebelumnya, bahwa kegiatan tersebut diduga pungutan liar (Pungli), karena setiap mobil pengangkut sawit dikenakan Fee atas sawit yang mereka bawa, dengan penetapan harga pembayaran 20 hingga 50 rupiah perkilonya, untuk melalui Jembatan yang memiliki pos pungutan dan Portal tersebut.

"Setiap lewat disini, kita memang dikenakan fee mas terhadap sawit yang kita bawa, setiap kilonya dikenakan tarif 50 rupiah," ungkap salah seorang pengemudi mobil pengangkut sawit itu kepada awak media dari Riautodays.

"Untuk kwitansi dan berapa yang saya setorkan setiap lewatnya, tidak pernah dicatat seingat saya," tambahnya.

Diwaktu yang sama, saat dikonfirmasi kepada RT sekaligus tokoh Masyarakat Desa itu, ia membenarkan adanya fee tersebut.

"Dulunya desa tersebut tidak memiliki Jembatan, sehingga masyarakat melakukan swadaya menggalang dana serta kesepakatan bersama untuk pembuatan Jembatan dan perehapan Jalan di Dusun itu. Dan selama ini pemerintah tidak pernah melakukan pembangunan, tepatnya dijalan itu," jelas Pak RT saat itu.


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar